Hanya di Barbershop Al-Amin Beliau dicukur tanpa teriak-teriak dan gerak banyak. Paling cuma nangis, tapi itu pun minim gerak. Belakangan malahan cuma tertawa kegelian.
Sekali waktu pernah cukur di dekat rumah, tempatnya sedikit lebih ‘fancy’. Tukang cukurnya bertato penuh di lengan layaknya pemain bola. Ongkosnya pun lumayan. Namun ya gitu, karena Kei nangis terus dan tangannya ‘riweuh’ nepis kanan kiri, Si Mas nampak canggung. Jadi yang kepotong cuma sampingnya saja.
Dugaan saya, Beliau sudah nyaman dengan Si Bapak tukang cukurnya karena dulu ketika akikah yang menggunduli rambut Si Bapak juga. Terlebih mungkin karena faktor DNA, secara Al-Amin merupakan salah satu tempat langganan saya sejak masa kuliah di STAN belasan tahun yang lalu.